Era Keemasan di Bawah Hayam Wuruk dan Gajah Mada (1350-1389)
Duumvirat Kekuasaan: Ratu Tribhuwana dan Gajah Mada
Setelah mangkatnya Jayanegara, takhta Majapahit secara teknis jatuh ke tangan Gayatri Rajapatni, satu-satunya istri Raden Wijaya yang masih hidup dan merupakan putri bungsu Kertanegara. Namun, karena ia telah memilih jalan spiritual sebagai seorang
bhiksuni (pendeta wanita Buddha), ia menolak untuk memerintah secara langsung. Kekuasaan pun dilimpahkan kepada putrinya, Sri Gitarja, yang kemudian naik takhta dengan gelar Tribhuwana Wijayatunggadewi dan memerintah dari tahun 1328 hingga 1350. Masa pemerintahannya menjadi periode transisi yang krusial, meletakkan fondasi yang kokoh bagi era keemasan yang akan datang.
Di bawah kepemimpinan Ratu Tribhuwana yang bijaksana, stabilitas politik kerajaan mulai pulih. Momen terpenting dalam pemerintahannya adalah pengangkatan Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubhumi (perdana menteri) pada tahun 1334 atau 1336, setelah ia berhasil memadamkan pemberontakan di Sadeng dan Keta. Duumvirat (kepemimpinan ganda) antara Ratu Tribhuwana yang berwibawa dan Mahapatih Gajah Mada yang ambisius dan cakap terbukti sangat efektif. Mereka memulai program ekspansi wilayah yang agresif, salah satunya adalah penaklukan Bali pada tahun 1343. Masa ini adalah periode “pertumbuhan” di mana Majapahit mulai merealisasikan potensinya sebagai kekuatan dominan di Nusantara.
Rekomendasi situs tempat bermain slot terpercaya.
Sumpah Palapa: Visi Penyatuan Nusantara
Pada upacara pengangkatannya sebagai Mahapatih Amangkubhumi, di hadapan Ratu Tribhuwana, Gajah Mada mengucapkan sebuah sumpah yang akan terukir abadi dalam sejarah Nusantara. Sumpah yang dikenal sebagai Sumpah Palapa ini merupakan sebuah deklarasi visi dan ambisi politik yang luar biasa. Sebagaimana tercatat dalam kitab
Pararaton, Gajah Mada bersumpah:
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Artinya: “Jika telah menaklukkan (seluruh) Nusantara, saya (baru akan) menikmati istirahat. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah dikalahkan, demikianlah saya (baru akan) menikmati istirahat.”
Sumpah ini pada awalnya ditertawakan dan diremehkan oleh para pejabat lain, namun Gajah Mada membuktikan kesungguhannya. Wilayah-wilayah yang disebutkan—mencakup area dari Indonesia bagian barat (Sumatra, Singapura/Tumasik), Kalimantan (Tanjung Pura), Semenanjung Malaya (Pahang), hingga Indonesia bagian timur (Lombok/Gurun, Seram)—bukanlah daftar acak, melainkan representasi dari sebuah cetak biru geopolitik yang komprehensif. Sumpah Palapa menjadi manifesto politik yang mengarahkan seluruh energi militer dan diplomatik Majapahit selama beberapa dekade berikutnya, dengan tujuan utama menyatukan seluruh kepulauan di bawah satu panji kekuasaan.
Hayam Wuruk, Sang Raja Agung (Sri Rajasanagara)
Pada tahun 1350, Ratu Tribhuwana turun takhta dan menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Hayam Wuruk, yang saat itu baru berusia 16 tahun. Hayam Wuruk, yang bergelar Sri Rajasanagara, memerintah hingga wafatnya pada tahun 1389. Masa pemerintahannya, yang didampingi oleh Gajah Mada yang tetap menjabat sebagai Mahapatih, diakui sebagai puncak kejayaan atau era keemasan (
golden age) Kerajaan Majapahit.
Hayam Wuruk adalah seorang penguasa yang cakap, berwibawa, dan sangat peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya. Kitab
Nagarakretagama menggambarkan pemerintahannya sebagai masa yang damai dan makmur, di mana hukum ditegakkan dengan adil dan seni budaya berkembang pesat. Salah satu ciri khas pemerintahannya adalah kebiasaannya melakukan perjalanan keliling ke berbagai daerah di wilayah kekuasaannya (
nagaraparisodhana atau desawarnana). Perjalanan ini bukan sekadar kunjungan seremonial, melainkan sebuah instrumen politik untuk menginspeksi kondisi daerah, menyerap aspirasi rakyat, memastikan loyalitas para pejabat lokal, dan menunjukkan kemegahan serta kehadiran negara secara langsung di hadapan rakyatnya.
Implementasi Sumpah Palapa: Ekspansi Militer dan Diplomasi
Di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dan pelaksanaan strategi oleh Gajah Mada, visi Sumpah Palapa mulai terwujud. Wilayah kekuasaan dan pengaruh Majapahit meluas secara dramatis. Kakawin Nagarakretagama dalam pupuh 13 dan 14 merinci daftar wilayah yang berada di bawah naungan Majapahit, yang cakupannya mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia modern, ditambah Semenanjung Malaya, Singapura, dan sebagian Filipina selatan. Wilayah-wilayah ini meliputi Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara (termasuk Bali dan Lombok), Maluku, dan sebagian Papua.
Strategi untuk mencapai hegemoni ini bersifat ganda. Di satu sisi, Majapahit tidak ragu menggunakan kekuatan militer untuk menaklukkan wilayah yang dianggap strategis atau membangkang. Ekspedisi militer yang dipimpin oleh Laksamana Nala, panglima angkatan laut Majapahit, berhasil menundukkan banyak kerajaan, termasuk Samudera Pasai di Sumatra pada tahun 1350. Di sisi lain, Majapahit juga piawai dalam menggunakan diplomasi. Kerajaan ini menerapkan politik luar negeri yang disebut
Mitreka Satata, yang berarti “persahabatan dalam kesetaraan”. Melalui kebijakan ini, Majapahit menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga di daratan Asia Tenggara seperti Siam (Thailand), Ayodyapura, Champa (Vietnam), dan Kamboja. Kerajaan-kerajaan ini secara sukarela mengirimkan utusan dan upeti tahunan ke Trowulan, bukan sebagai tanda takluk, melainkan sebagai bentuk pengakuan atas kebesaran dan superioritas Majapahit di kawasan tersebut.
Tragedi di Bubat (1357): Retaknya Duumvirat
Di puncak kejayaannya, sebuah peristiwa tragis terjadi yang meninggalkan luka mendalam dan menjadi noda hitam dalam sejarah Majapahit. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai Perang Bubat, berawal dari niat baik Raja Hayam Wuruk untuk memperkuat aliansi dengan Kerajaan Sunda, satu-satunya kerajaan besar di Jawa yang belum berada di bawah pengaruh Majapahit. Hayam Wuruk berencana menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Prabu Maharaja Linggabuana, Raja Sunda. Pernikahan ini diharapkan dapat menyatukan dua kekuatan besar di tanah Jawa secara damai.
Rombongan Kerajaan Sunda, termasuk Raja Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka, tiba di Majapahit dan mendirikan pesanggrahan di Lapangan Bubat, di bagian utara ibu kota. Namun, di sinilah visi Hayam Wuruk yang diplomatik berbenturan dengan interpretasi Gajah Mada yang militeristik. Bagi Gajah Mada, yang terikat oleh Sumpah Palapa-nya untuk menaklukkan Sunda, kedatangan rombongan ini bukanlah untuk pernikahan antar-kerajaan yang setara. Ia menuntut agar Putri Dyah Pitaloka diserahkan sebagai persembahan atau upeti, sebagai tanda bahwa Sunda telah takluk kepada Majapahit.
Tuntutan ini dianggap sebagai penghinaan besar oleh pihak Sunda. Prabu Linggabuana menolak mentah-mentah, memilih untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan kerajaannya sampai titik darah penghabisan. Pertempuran yang tidak seimbang pun tak terhindarkan. Pasukan Majapahit yang jauh lebih besar jumlahnya mengepung dan menghancurkan seluruh rombongan Kerajaan Sunda. Raja Linggabuana dan para bangsawan Sunda gugur sebagai pahlawan. Menyaksikan tragedi tersebut, Putri Dyah Pitaloka Citraresmi memilih untuk melakukan
bela pati (bunuh diri) demi menjaga kehormatannya.
Tragedi Bubat memiliki dampak yang sangat destruktif. Rencana pernikahan yang seharusnya menjadi simbol persatuan justru berubah menjadi sumber permusuhan abadi antara Jawa dan Sunda. Yang lebih fatal, peristiwa ini menyebabkan keretakan yang tidak dapat diperbaiki dalam hubungan antara Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Hayam Wuruk sangat menyesalkan tindakan Gajah Mada yang melampaui wewenangnya dan menghancurkan upaya diplomasinya. Meskipun Gajah Mada tidak dihukum secara resmi, karier politiknya meredup drastis setelah insiden ini. Ia wafat beberapa tahun kemudian, pada 1364. Peristiwa Bubat secara tragis menunjukkan bahwa kekuatan yang sama—ambisi Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara—yang telah mendorong Majapahit ke puncak kejayaannya, juga merupakan kekuatan yang menanam benih perpecahan dan kebencian yang pada akhirnya akan berkontribusi pada kemundurannya.
Rekomendasi situs tempat bermain slot terpercaya.